Semuanya berubah sejak sapaan dibalas dengan senyuman. Keheningan
yang tercipta selama ini terhapus sudah. Dan yang telah lama bersama kini
berakhir dengan luka. Aku tak menyangka akan terjadi seperti ini. Senang,
resah, gelisah, risau, dilema bercampur menjadi satu. Aku juga tidak bisa menjawab
saat ditanya apakah aku sedih atau senang. Aku sama sekali tidak tahu. Aku memang
mendapatkan apa yang selama ini aku tunggu dan aku inginkan. Tetapi, benar kata
pepatah, hidup adalah pilihan dan buah dari sebuah pilihan adalah resiko yang
harus dihadapi. Entah pahit ataupun manis.
Keheningan yang berubah menjadi kehangatan kini memang
berjalan lancar. Seperti apa yang aku dambakan. Seperti apa yang diceritakan di
negeri dongeng. Walaupun aku tidak bisa menjamin apakah akan berakhir dengan
happy ending.
Ia begitu hangat,
sehangat mentari pagi. Ia begitu menyayangiku. Aku sangat yakin saat mendengar
detak jantungnya yang begitu kencang ketika berada di dekatku. Ia begitu lembut,
saat menyuapiku makan. Aku melihat dari tangannya yang gemetar. Ia penuh kasih
sayang, saat membelai rambutku. Ia sangat tulus saat mengucapkan “aku sayang
kamu”. Ia juga sangat menjaga perasaanku, kala aku pernah menangis saat dia
menghubungi mantannya. Ia berusaha sekuat tenaganya untuk meyakinkan bahwa aku
adalah pilihannya sendiri, bukan untuk pelampiasan. Dan memang, setiap aku
merasa ragu, ada suatu keyakinan yang memang mengusir keraguan itu.
Hmm, jika aku bertanya kepada kalian, apakah aku bodoh karena
telah menukar sosok yang telah mengorbankan dirinya untukku dengan sosok yang
menginginkan kamu mengorbankan dirimu untuknya? Jika aku bodoh, tamparlah. Aku telah
menukar sosok itu.
Seminggu pun berlalu, entah mengapa perasaan yang dulu
pernah ada untuk senyuman hangat itu kini menjadi perasaan sesal tak karuan.
Aku dihantui pikiran tak menentu. Mereka berkata bahwa aku jahat, aku kejam,
aku pengecut. Aku tidak lebih dari seorang remaja yang labil. Aku menukar pengorbanan
demi mendapatkan senyuman hangat. Dan mungkin, keyakinan yang pernah ada
hanyalah untuk seminggu.
Kini, aku hanya bisa bertanya, “aku harus apa?”